ujub dan sabar

SABAR

  1. A.    Defenisi sabar

Ash-Shabr (sabar) secara etimologi diartikan al-habsu (menahan). Dalam bahasa arab dikatakan shabartu fulanan , artinaya adalah: aku menahannya. Sedangkan, kata shabara yashburu dalam kata kerja sekarang dan masa depan bermakna : menanggung. Menurut versi yang lain kata shabara mempunyai tiga arti utama: menahan, kekuatan dan mengumpulkan.[1]

Secara terminologi kata sabar diartikan menerima segala cobaan dengan tenang dan tabah atau berusaha untuk bersikap layaknya orang yang tidak diterpa apa-apa ketika sedang di timpa kesusahan. Tidak sedikitpun ada keluhan terlontar dari mulutnya.

Menurut al-Ghazali, yang dinamakan “sabar” adalah meninggalkan segala macam kegiatan atau pekerjaan yang dikerjakan oleh hawa nafsu, tetap pada pendirian agama yang mungkin bertentangan dengan kehendak hawa nafsu, semata-mata karena menghendaki kebahagian dunia dan akhirat[2]. Menurut ‘Amar bin ‘Ustman al-Makki berkata: “Sabar adalah sikap tegar dalam menghadapi ketentuan Allah dan orang yang sabar, menerima segala musibah dari Allah dengan lapang dada”

 

  1. A.    Dalil-dalil disyariatkan sabar

 

  1. Dalil dari Al-Qur’an

 

Banyak sekali ayat dari Al-Qur’an yang mebicarakan tentang sabar. Allah menciptakan makhluknya untuk memberikan cobaan dan ujian, lalu menuntut konsekuensi kesenangan yaitu bersyukur dan konsekuensi dari kesusahan yaitu bersabar. Al Imam Ahmad Bin Hambal r.a menyatakan bahwa lafazh Ash-Shabru dalam Al-Qur’an disebutkan dalam sembilan puluh tempat (ayat). Hal ini menunjukkan sabar memiliki kedudukan tinggi dan mulia dalam agama islam. Oleh karena itu, Imam Ibnu Qayyim mengatakan bahwa sabar adalah setengah dari keimanan dan setengahnya lagi syukur.

Diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kesabaran adalah :

 

  • Q.S Al-Baqarah :45-46.

 وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ (45) الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (46) يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ

 

 “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”.

  • Q.S Az-Zumar : 10.

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu”. orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

  • Q.S Muhammad : 31

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ

 

Dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.

 

  1. Dalil dari as-sunnah

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَ

 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar Al Abdi telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Tsabit ia berkata, saya mendengar Anas bin Malik berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kesabaran itu letaknya pada goncangan yang pertama.” (H.R Muslim : 1534)

و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي النَّضْرِ السَّلَمِيِّ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَمُوتُ لِأَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ ثَلَاثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ فَيَحْتَسِبُهُمْ إِلَّا كَانُوا لَهُ جُنَّةً مِنْ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْ اثْنَانِ قَالَ أَوْ اثْنَانِ

Telah menceritakan kepadaku Malik dari Muhammad bin Abu Bakar bin ‘Amru bin Hazm dari Bapaknya dari Abu Nadlr As Salami, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim ditinggal mati oleh tiga orang anaknya, lalu ia bersabar dan mengharap pahala kecuali mereka akan menjadi tameng dari api neraka.” Lalu seorang wanita yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau dua?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab; “Begitu juga kalau dua.” (H.R Malik : 496).

 

  1. B.     Macam-macam sabar

Dalam kitab Futuh Al-Ghaibi, Syaikh ‘Abd Abbas Al-Qadir  mengatakan bahwasanya seorang hamba harus bersabar dalam mengerjakan perintah, menjauhi segala larangan dan menerima semua takdir Allah SWT.[3]

  1. 1.      Sabar Dalam Menjalankan Perintah-Perintah Allah.

Sebagai orang Islam kita memang mempunyai kewajiban menjalankan perintah-perintah Allah. Kita harus sadar bahwa di dalam setiap kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepada hamba-hamba-Nya terdapat hikmah yang baik bagi diri sendiri ataupun bagi orang lain. Oleh karena itu, jika kita menjalankan segala apapun perintah-perintah Allah dengan sabar maka kita dapat merasakan nikmat sabar itu sendiri dan setiap ibadah yang kita lakukan akan terasa lebih indah. Sabar dan taat dalam menjalankan perintah Allah terdapat dalam firman-Nya:

 

Q.S. Al-Insan : 23-24

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلًا (23) فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka.

Ayat-ayat ini menjelaskan tentang sabar dalam melaksanakan perintah-perintah, karena seseungguhnya Al-Quran itu turub kepadanya agar beliau (Rasulullah) menyampaikannya (kepada manusia), maka jadilah beliau orang yang diperintahkan untuk bersabar dalam melaksanakan ketaatan.

 

  1. 2.      Sabar Dalam Menjauhi Hal-Hal Yang Dilarang Oleh Allah

Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk selalu menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah. Akan tetapi jika kita menjauhi hal-hal yang dilarang Allah dengan berat hati,maka hal tersebut hanya akan menjadi beban bagi diri kita. Kita seharusnya juga sadar bahwa hal apapun yang dilarang Allah pasti hal tersebut membawa akibat buruk bagi kita jika tidak menjauhinya. Dalam hal ini hawa nafsu senantiasa mengajak kita untuk melakukan hal yang buruk, maka hendaklah manusia menyabarkan hawa nafsunya, seperti dusta dan curang dalam muamalat, memakan harta dengan batil, berzina, meminum minuman keras dan dosa besar lainnya. Ini perlu kerja keras dalam menahan hawa nafsu.[4]

 

  1. 3.      Sabar Dalam Menerima Semua Takdir Allah SWT

Manusia hendaknya sabar terhadap takdir Allah yang tidak menyenangkan karena takdir Allah atas makhluk-Nya, ada yang sesuai dengan keinginan, ada juga yang tidak menyenangkan. Takdir yang sesuai dengan keinginan perlu di syukuri, sedangkan takdir yang tidak menyenangkan yakni tidak sesuai dengan apa yang diinginka manusia, seperti ujian uang menimpa diri, harta, keluarga, dan masyarakat. Maka, hendaklah manusia menahan hawa nafsunya dari menampakkan kekecewaan terhadap takdir Allah, baik denagn lisan, hati, taupun anggota badan lainnya.

 

  1. C.    Keutamaan Sabar

Sabar adalah ibadah yang mudah di ucapkan akan tetapi sulit untuk dilakukan. Karena itu Allah memberika ganjaran yang sangat besar bagi orang-orang yang bersabar. Diantara keutamaan orang yang sabar sebagai berikut :

  1. Allah menyukai orang yang punya sifat sabar
  2. Ditulis sebagai kabaikan dan di tinggikan derajatnya
  3. Jalan menuju surga
  4. Dibangunkan rumah di surga yang diberi nama dengan Baitul Hamd (rumah pijian)
  5. Mendapatkan  pertolongan Allah
  6. Mendapatkan shalawat, rahmat, dan petunjuk dari Allah SWT
  7. Sabar adalah kunci kesuksesan seorang hamba
  8. Diberikan ganjaran yang tanpa batas
  9. Mendapat ampunan dari Allah
  10. Mendapatkan martabat yang tinggi didalamnya[5]

 

  1. D.    Kiat-kiat sabar

Sabar walaupun sulit dan tidak disukai oleh tabiat manusia, apalagi bila disebabkan kelakuan dan tindakan orang  lain. Akan tetapi kesabaran harus ada dan diwujudkan baik itu bersabar dalam menjalan ketaatan kepada Allah, kesabaran dalam menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah ataupun sabar dalam menghadapi takdir Allah. Berikut sembilan kiat sabar :

 

  1. Ikhlas dan mengharapkan keridhaan Allah dalam bersabar
  2. Bertekad kuat dan motivasi tinggi sehingga dapat bersabar dan semua kesulitan dan kesusahan menjadi mudah baginya
  3. Beriman bahwa dunia seluruhnya adalah milik Allah dan Dia memberinya kepada orang yang Dia sukai dan menahannya dari Orang yang disukai-Nya juga
  4. Mengetahui tabi’at kehidupan dunia dan kesulitan dan kesusahan yang ada disana, sebab manusia memang diciptakan berada dalam susah payah
  5. Menegetahui besarnya balasan dan pahala atas kesabaran tersebut
  6. Memohon pertolongan kepada Allah dan berlindung kepada-Nya, karena Allah satu-satunya yang dapat memberikan kemudahan dan kesabaran
  7. Beriman kepada ketetapan dan  takdir Allah  dengan meyakini semuanya yang terjadi sudah merupakan suratan takdir,  sehingga dapat bersabar menghadapi musibah yang ada
  8. Mengetahui kebaikan dan  manfaat yang ada dalam perintah dan keburukan yang ada dalam larangan[6]

 

 

 

AL-’UJUB

  1. A.    Definisi al-‘Ujub

Menurut al-Jurjani, ‘ujub adalah anggapan seseorang terhadap ketinggian dirinya, padahal ia tidak berhak untuk anggapan itu.[7] Menurut KH. Ahmad Rifa’i, ‘ujub  ialah membanggakan diri dalam batin.[8]

Sedang menurut al-Ghazali, ‘ujub adalah kesombongan yang terjadi di dalam batin seseorang karena menganggap adanya kesempurnaan ilmu, amal, harta, dan lain sebagainya pada dirinya. Jika seseorang takut kesempurnaan tersebut akan lenyap dan dicabut oleh yang berhak (Allah), itu artinya ia tidak bersifat ‘ujub. Kemudian jika ia merasa gembira kerena ia menganggap dan mengakui bahwa kesempurnaan tersebut sebagai nikmat Allah dan karunia-Nya, maka berarti ia tidak bersifat ‘ujub. Akan tetapi sebaliknya, jika ia menganggap bahwa kesempurnaan itu sebagai sifat dirinya sendiri tanpa memikirkan tentang kemungkinan kesempurnaan tersebut akan lenyap, dan tanpa memikirkan siapa pemberi kesempurnaan tersebut (Allah), maka inilah yang dimaksud dengan ‘ujub.[9]

            At-Tustari mengatakan, penyebab daripada penderitaan adalah ‘ujub, karena dengan ‘ujub itu manusia menunjukkan ketidak-perluan dirinya kepada Allah. Hanya orang-orang yang jujur dan mempunyai niat yang ikhlas sajalah yang dapat membersihkan dirinya dari perasaan ‘ujub, takabur, dan mengaku bahwa dirinya sebagai orang yang tinggi.[10]

            ‘Ujub bersumber dari takabbur. Karena itu, hal-hal yang terdapat pada takabbur akan terdapat pula pada sifat ‘ujub.[11]

            Pendapat KH. Ahmad Rifa’i di atas sejalan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bazzar, Ibn Hibban, dan al-Baihaqi dari Anas:

لو لم تذنبوا الخشيات عليكم ما هواكبر من ذلك العجب العجب

Seandainya kamu tidak melakukan dosa, niscaya aku (Nabi) mengkhawatirkanmu melakukan dosa yang lebih besar dari ‘ujub yaitu ‘ujub.”

            Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa ‘ujub merupakan perbuatan dosa yang sangat berbahaya karena seseorang sering tidak sadar melakukannya. Dengan perkataan lain, ‘ujub merupakan perbuatan dosa yang sangat halus karena ia tidak nampak oleh mata, yang tahu hanya Allah dan diri pelakunya. Jika diperbandingkan antara dosa ‘ujub dan dosa-dosa lainnya yang nampak oleh mata seperti menyembah berhala (syirik), durhaka kepada orang tua, melakukan saksi palsu, dan berbuat zina, maka dosa ‘ujub lebih berbahaya. [12]

  1. B.     Macam-macam al-‘Ujub[13]
  2. ‘Ujub dengan keindahan badannya, kesehatannya, kekuatannya, dan lain sebagainya. Firman Allah Swt.: QS. An-Najm: 32.

الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

 “(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

  1. ‘Ujub dengan akal dan kecerdikan serta dengan kepandaian yang dimiliki, dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan baik yang menyangkut permasalahan dunia maupun keagamaan.
  2. ‘Ujub karena mempunyai keturunan yang mulia. Dikatakan dalam sya’ir:

الشرف بالادب لا بالنسب

            “Kemuliaan itu berdasarkan akhlak bukan karena keturunan.”

  1. ‘Ujub dengan silsilah raja yang zalim.
  2. ‘Ujub karena banyak memiliki anak, pembantu, keluarga, teman, penolong, pengikut, dan lain sebagainya. Firman Allah SWT.: QS. At-Taubah: 25.

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ (25)

Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.

  1. ‘Ujub karena harta.

            Perasaan ‘ujub bisa terjadi karena factor intern maupun extern. [14] factor intern berada di dalam pilihan seorang hamba, seperti ‘ujub karena ibadah, bersedekah, berpolitik, dan lain sebagainya. Sedang factor extern berada di luar pilihan seorang hamba yang disebabkan oleh kemampuan dan kekuatan yang dimiliki, kesehatan, akal, dan kehendak, dan lain sebagainya sehingga banyaklah pujian yang datang pada orang tersebut yang kemudian menyebabkan orang tersebut bersifat ‘ujub atas pujian yang datang itu. Dikatakan dalam sebuah sya’ir:

المؤمن اذا مدح استحيا من الله تعالي ان يثني عليه بوصف لا يشهده من نفسه

Ketika seorang mukmin dipuji, ia malu kepada Allah karena ia dipuji dengan sifat yang tidak ia dapati pada dirinya.”[15]

Dari ayat di atas dapat kita pahami, bahwa hanyaa orang-orang mukminlah yang dapat menghindarkan dirinya sendiri dari sifat ‘ujub itu. Orang yang mukmin akan menyadari bahwa tidak ada pujian yang pantas diberikan kecuali kepada-Nya dan menyadari bahwa pujian yang datang kepadanya sebagai alat mengoreksi segala bentuk kelemahan, kekurangan, aib, cela, dan sifat buruk yang dimilikinya.

  1. C.    ‘Ujub dan Sabar dalam Konteks Kekinian

Seiring perkembangan teknologi yang dipelopori oleh modernisasi dan globalisasi, tingkat konsumerisme dan hedonisme masyarakat semakin mewabah. Hal ini menyebabkan masyarakat mudah terbawa arus. Setiap orang bangga dengan kekonsumerismean dan kehedonismeannya. Bukannya bangga dengan berinovasi, tetapi malah bangga dengan sifat kekonsumerismeannya yang berada pada level teratas. Setiap orang bangga dengan barang yg dimilikinya, entah dari segi kualitas yang dimiliki barang itu, ataupun segi kuantitas barang mahal dan bermerk yang dimiliki. Hal ini dapat menimbulkan sifat ‘ujub di dalam hati seseorang.

            Bukan hanya ‘ujub dengan harta yang dimiliki akibat perkembangan teknologi, tetapi sedikit demi sedikit teknologi tersebut dapat mencuci otak masyarakat. Pada zaman dahulu tingkat keintelektualan seseorang dapat diukur dan dilihat dari kenyataan riilnya. Namun, pada zaman sekarang hal tersebut semakin memudar. Tingkat keintelektualan seseorang kini dipengaruhi oleh sistem-sistem modernisasi. Mereka bangga dengan kecerdasan yang mereka miliki yang didasari pada teknologi bukan pada kenyataan riil yang mereka miliki. Hal ini juga dapat menyebabkan timbulnya sifat ‘ujub. Dan masih banyak lagi hal-hal yang mendorong timbulnya sifat ‘ujub ini yang dilator belakangi oleh bermacam-macam factor di luar batas kemampuan seseorang.

Oleh karena itu, sebagai hamba yang beriman sudah seyogiyanya kita menghindar dari sifat ‘ujub tersebut. Kita dapat menghindari sifat ‘ujub ini dengan selalu bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Juga kita seharusnya menyadari bahwa apa yang kita miliki semuanya kepunyaan Allah semata yang nantinya pasti akan kembali pada-Nya dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh-Nya. Dengan begitu, sifat ‘ujub perlahan tapi pasti dapat sedikit demi sedikit terkendalikan.

            Begitupula dengan halnya sabar,  sejauh ini telah banyak terjadi bencana alam. Maka dengan adanya sikap sabar dapat melatih kita untuk melalui segala cobaan yang datang dari yang Maha Kuasa secara tenang dan selalu  mengucapkan lafal istirja’ sebagai tanda bahwa segala sesuatunya hanyalah milik Allah semata.

             

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Akademik, Pokja. Akhlak/Tasawuf. Yokyakrta: pokja UIN Sunan Kalijaga, 2005.

Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin. Juz III. Mesir: Isa Bab al-Halaby

Al-Jauziah, Ibnu Al-Qayyim. Kemulian Sabar Dan Keagungan Syukur Terj. Alaika Salamullah. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005.

An-Najar, Amir. Ilmu Jiwa dalam Tasawuf. Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.

‘Athaillah, Ibnu. Al-Hikam. Bandung: Gita Print, 2010.

Sahla, Abu. Pelangi Kesabaran. Jakarta: Gramedia. 2010

Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya : Bina Ilmu. 1995

Zaini, Syahminan. Penyakit Rohani dan Pengobatannya. Surabaya: Al-Ikhlas,        1983.

 

 

 

 


[1] Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah,  Kemuliaan Sabar Dan Keagungan Syukur, Terj. Alaika Salamulloh ( Yogyakarta : MITRA PUSTAKA, 2005),  hlm. 2-4

[2] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf ( Surabaya : Bina Ilmu,1995), hlm 68

[3] Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah,  Kemuliaan Sabar Dan Keagungan Syukur, Terj. Alaika Salamulloh  hlm. 40

[4] Abu Sahla,  Pelangi Kesabaran (Jakarta : Gramedia , 2010) , hlm.7

[5] Abu Sahla,  Pelangi Kesabaran, hlm. 160-164

[6] Abu Sahla,  Pelangi Kesabaran, hlm. 176-177

[7] Amir an-Najar, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf, hlm. 166.

[8] Pokja Akademik, Akhlak/Tasawuf, hlm. 97.

[9][9] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid III, hlm. 390-391.

[10] Amir an-Najar, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf, hlm. 167.

[11] Syahminan Zaini, Penyakit Rohani Dan Obatnya, hlm. 82.

[12] Pokja Akademik, Akhlak/Tasawuf, hlm. 97-98.

[13] Amir an-Najar, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf, hlm. 168-169.

[14] Amir an-Najar, Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf, hlm. 170.

[15] Ibn ‘Athaillah, Terjemah Al-Hikam, Cet. VI, hlm. 168.

About julianasari78

Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment